Anak putus sekolah di Kabupaten Lebak, Banten, kian menjamur akibat kemiskinan dan kultur masyarakat masih rendah sehingga banyak anak-anak usia SD/SMP putus sekolah untuk membantu ekonomi keluarga. Berdasarkan pantauan, anak-anak putus sekolah di Rangkasbitung terpaksa menjadi pemulung, penyemir sepatu, pedagang plastik, pengamen, pengemis, dan pedagang abu gosok.
Selain itu, mereka ada juga menjadi pembantu rumah tangga dan penggembala ternak milik orangtua.
Juli (12) misalnya, warga Cimesir, Desa Rangkasbitung Timur, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak mengaku dirinya berhenti sekolah sejak kelas II di SDN Rangkasbitung Timur dan kini menjadi pemulung barang-barang bekas untuk membantu ekonomi orangtua.
Penghasilan pemulung itu, kata dia, sehari bisa membawa uang ke rumah antara Rp5-Rp12 ribu per hari. Uang itu, sebagian untuk jajan dan sisanya dikasihkan ke orangtua untuk membeli beras.
"Meskipun sekolah gratis namun orangtua tak mampu membeli tas, buku-buku, dan pakaian seragam sekolah," kata Juli saat memulung barang-barang bekas di Kantor Dinas Pendidikan, Kabupaten Lebak, Minggu.
Juli mengatakan, dirinya berhenti sekolah atas kemauan sendiri karena teman-teman lainya juga berhenti sekolah dan kini menjadi pemulung.
Ia setiap hari bersama Agus (12), Ali (12), dan Hari (13) memulung barang-barang bekas di sekitar perkantoran yang ada di Desa Rangkasbitung Timur di antaranya Dinas Pendidikan, Dinas Bina Marga , Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pengairan, Dinas Cipta Karya dan dinas lainya.
Menurut dia, barang-barang bekas itu seperti plastik, bekas minuman mineral, besi, kardus dan kertas, mereka hasil memulung langsung dijual ke Bapak Aming sebagai juragan barang bekas.
"Hasil memungut itu bisa membantu ekonomi keluarga sehari-hari," katanya.
Apalagi, orangtuanya bernama Aswari dan ibunya Edah sudah tidak bekerja lagi dan sering sakit-sakitan, sehingga dirinya menjadi tulang punggung orangtua.
Begitu pula Hari, teman Juli mengatakan, ia terpaksa berhenti sekolah kelas II SDN karena orangtua tak mampu membiayai pendidikanya. Oleh karena itu, menjadi pemulung bisa membeli keperluan pribadi seperti pakaian dan celana juga membantu ekonomi orangtua.
"Sehari kami bisa mendapatkan uang Rp15 ribu. Uang sebesar itu sebagian dibelikan beras untuk keluarga di rumah," katanya.
Rudi (12) seorang penyemir sepatu di Stasiun Kereta Api RangKasbitung mengatakan, dirinya berhenti sekolah kelas IV karena orangtua tak mampu membiayai sekolah akibat tidak memiliki pekerjaan tetap.
Sebetulnya, dirinya ingin meneruskan sekolah hingga tamat SD namun orangtua melarangnya karena tak mampu membiayai pendidikan tersebut.
Belum Miliki Data
Di tempat terpisah Kepala Bidang Program Dinas Pendidikan, Kabupaten Lebak, Aang Ambari, mengaku hingga saat ini pihaknya belum memiliki data anak putus sekolah karena belum menerima laporan dari dinas pendidikan tingkat kecamatan.
"Sampai saat ini kami belum memiliki data pasti anak putus sekolah," ujarnya.
Sementara itu, Bupati Lebak, Mulyadi Jayabaya saat memperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas) mengimbau kepada berbagai elemen masyarakat agar mendorong terhadap pendidikan menyusul Rangkasbitung menjadi kota pelajar dan Kabupaten Lebak menjadi wajib belajar 12 tahun.
"Saya kira pendidikan perlu adanya partisipasi masyarakat dan minta orangtua anaknya jangan sampai tidak sekolah, terlebih saat ini sekolah gratis," ujarnya.
Data Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, saat ini angka partisipasi kasar (APK) tingkat SD mencapai 108 persen, SMP 83, 49 persen dan SMA 27, 63 persen.
Sedangkan angka partisipasi murni (APM)) tingkat SD mencapai 94,86 persen, SMP 63,57 persen dan SMA 20,51 persen. .** (mui/mp/ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar